Senin, 18 Oktober 2010

Kebhinekaan di Tengah Frustrasi Sosial

Makin tidak siapkah kita untuk menerima perbedaan? Pertanyaan itu kita sampaikan ketika berbagai insiden yang dilatari oleh konflik etnis, agama, dan kelompok meletup di sejumlah tempat di Tanah Air. Apa pun alasannya! Berturut-turut, yang aktual: peristiwa penganiayaan jemaat HKBP, kerusuhan etnis di Tarakan, Kalimantan Timur, tawur antarkelompok di Jakarta, pembakaran rumah pengikut keyakinan tertentu, dan sebagainya. Berdekatannya peristiwa tersebut dengan peringatan Hari Pancasila Sakti kiranya menjadi momentum strategis bagi kita untuk merenungkannya.

Tentu masih banyak peristiwa lain yang menjadi catatan kelam perjalanan interaksi bangsa ini. Bangsa yang selama ini diakui dan bangga akan toleransi, kerukunan, kesantunan, dan keramahannya. Bangsa yang dipersatukan oleh semboyan indah Bhineka Tunggal Ika ñ berbeda-beda tetapi satu ñ dalam filosofi hidup ber-Pancasilanya. Justru ketika demokrasi menjadi pilihan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, haruskah kesatuan dan kebhinekaan itu dicerai-beraikan oleh bias dari kebebasan mengekspresikan pendapat dan aspirasi dengan kekerasan?

Perbedaan, dari semboyan berbhineka, merupakan keniscayaan yang sudah sedari awal disadari sebagai realitas sejarah terbentuknya bangsa ini. Para founding fathers menyatukannya lewat falsafah hidup dan kemanggungalan yang cerdas. Ada Sumpah Pemuda, penginternalisasian way of life Pancasila, dan ikhtiar silaturahmi kebangsaan secara terus menerus untuk menegaskan keberadaan Indonesia dengan segala kekayaan unikumnya. Dan, keindahan hidup dalam perbedaan itu dirasakan selama puluhan tahun, bahkan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain.

Adakah sesuatu yang salah, melihat perkembangan pluralitas yang belakangan seperti bara dalam sekam? Kita boleh saja menangkapnya sebagai sekadar percik dalam sebuah dinamika besar berbangsa. Namun kita juga tak boleh menepikannya sebagai sekadar noktah kecil interaksi. Persoalan sensitivitas hidup dalam keragaman itu tentu punya akar yang bisa saja merupakan pemicu. Apakah kegetiran ekonomi, frustrasi sosial, ungkapan kegalauan politik, lemahnya penegakan hokum yang menyebabkan tidak terpancarnya rasa keadilan, atau keterkaitan keseluruhan faktor-faktor tersebut?

Kita boleh saja menerima analisis bahwa keterkungkungan panjang dalam episode demokrasi semu selama masa Orde Baru telah menciptakan kondisi semacam ”bendungan ambrol”. Ada euforia berekspresi yang bergerak liar. Namun teori berpola sekadar ”menyalahkan” semacam itu tentu tidak bijak dan reflektif. Jadi kita harus berani mengakui dan menginventarisasinya bahwa ada bibit-bibit persoalan pluralisme yang berkembang sekarang: apakah merupakan pendaman persoalan lama, sedang berkembang, atau merupakan potensi tidak sehat pada masa depan.

Apa pun persoalannya, ini merupakan tanggung jawab pemerintah di berbagai level. Menjaga dan memelihara pluralisme, selain yang ideal sebagai internalisasi sikap berbangsa, juga harus dikelola oleh semua stake holder bangsa ini. Secara terus menerus, generasi ke generasi, kehidupan harus terkondisikan sebagai ”sekolah” dan ”rumah” untuk membangun kesiapan menerima perbedaan. Pendekatan nyata penyejahteraan rakyat untuk mengurai akar kefrustrasian sosial, tentu merupakan syarat mendasar agar kegelisahan jiwa itu tidak menjadi justifikasi pemicu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar