Kamis, 21 Oktober 2010

Mengenal Islam

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga shalawat dan salam tercurah untuk imam para rasul, nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan para shahabatnya .
Islam adalah syari’at Allah terakhir yang diturunkan-Nya kepada penutup para nabi dan rasul-Nya, Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia merupakan satu-satunya agama yang benar. Allah tidak menerima agama dari siapapun selainnya. Dia telah menjadikannya sebagai agama yang mudah, tidak ada kesulitan dan kesusahan di dalamnya. Allah tidak mewajibkan dan tidak pula membebankan kepada para pemeluknya apa-apa yang mereka tidak sanggup melakukannya. Islam adalah agama yang dasarnya tauhid, syi’arnya kejujuran, porosnya keadilan, tiangnya kebenaran, ruhnya kasih sayang. Ia merupakan agama agung yang mengarahkan manusia kepada seluruh hal yang bermanfa’at, serta melarang dari segala hal yang membahayakan bagi agama dan kehidupan mereka di dunia.
Dengannya Allah meluruskan ’aqidah dan akhlak, serta memperbaiki kehidupan dunia dan akhirat. Dengannya pula Allah menyatukan hati yang bercerai-berai, dan hawa nafsu yang berpecah-belah, dengan membebaskannya dari kegelapan kebatilan, dan mengarahkan serta menunjukinya kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Islam adalah agama yang lurus, yang sangat bijaksana dan sempurna dalam segala berita dan hukum-hukumnya. Ia tidak memberitakan kecuali dengan jujur dan benar, dan tidak menghukum kecuali dengan yang baik dan adil, yaitu: ’aqidah yang benar, amalan yang tepat, akhlak yang utama dan etika yang mulia.
Syari’ah Islam bertujuan untuk mewujudkan hal-hal berikut:
1.   Memperkenalkan manusia dengan Tuhan dan Pencipta mereka, melalui nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-sifat-Nya yang agung, serta perbuatan-perbuatan-Nya yang sempurna.
2.   Menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya; dengan menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya, yang merupakan kemaslahatan bagi mereka di dunia dan akhirat.
3.   Mengingatkan mereka akan keadaan dan tempat kembali mereka setelah mati, dan apa yang akan mereka hadapi di dalam kubur, serta ketika dibangkitkan dan dihisab. Kemudian tempat kembali mereka surga atau neraka.
Dan hal-hal yang diseru oleh Islam dapat kita simpulkan dalam penjelasan berikut:


Pertama
Aqidah

Yaitu: Meyakini Rukun-Rukun (Pilar-Pilar) Iman yang enam:
1-   Beriman kepada Allah, diwujudkan dengan hal-hal berikut:
a.    Satu: Beriman kepada rububiyyah Allah Ta’ala, maksudnya: Allah adalah Tuhan, Pencipta, Pemilik dan Pengatur segala urusan.
b.   Beriman kepada uluhiyyah Allah Ta’ala, maksudnya: Allah Ta’ala sajalah Tuhan yang berhak disembah, dan semua sesembahan selain-Nya adalah batil.
c.    Beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat-Nya, maksudnya: bahwasanya Allah Ta’ala memiliki nama-nama yang mulia, dan sifat-sifat yang sempurna serta agung sesuai dengan yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam .
2- Beriman kepada para Malaikat:
Malaikat adalah hamba-hamba yang mulia. Mereka diciptakan oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya, serta tunduk dan patuh menta’ati-Nya. Allah telah membebankan kepada mereka berbagai tugas. Diantara mereka adalah Jibril; ditugaskan menurunkan wahyu dari sisi Allah kepada nabi-nabi dan rasul-rasul yang dikehendaki-Nya.
Mikail yang ditugaskan untuk mengurus hujan dan tumbuh-tumbuhan.
Israfil yang bertugas meniupkan sangsakala di hari terjadinya kiamat.
Dan Malaikat Maut, bertugas mencabut nyawa ketika ajal tiba.
3- Beriman kepada Kitab-kitab:
Allah -Yang Maha Agung dan Mulia- telah menurunkan kepada para rasul-Nya kitab-kitab, mengandung petunjuk dan kebaikan. Yang kita ketahui di antara kitab-kitab itu adalah:
a.    Taurat, diturunkan Allah kepada Nabi Musa alaihis salam, ia merupakan kitab Bani Israil yang paling agung.
b.   Injil, diturunkan Allah kepada Nabi Isa alaihis salam.
c.    Zabur, diturunkan Allah kepada Daud alaihis salam.
d.   Shuhuf Nabi Ibrahim dan Nabi Musa ’alaihimas salam.
e.    Al Qur’an yang agung, diturunkan Allah Ta’ala kepada nabi-Nya Muhammad, penutup para nabi. Dengannya Allah telah menasakh (menghapus) semua kitab sebelumnya. Dan Allah telah menjamin untuk memelihara dan menjaganya; karena ia akan tetap menjadi hujjah atas semua makhluk, sampai hari kiamat.
4- Beriman kepada para rasul:
Allah telah mengutus para rasul kepada makhluk-Nya. Rasul pertama adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan semua rasul itu adalah manusia biasa, tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang telah dimuliakan dengan kerasulan. Dan Allah telah mengakhiri semua syari’at dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau diutus untuk seluruh manusia. Maka tidak ada lagi nabi sesudahnya.
5- Beriman kepada hari akhirat:
Yaitu hari kiamat, tidak ada hari lagi setelahnya, Ketika Allah membangkitkan manusia dalam keadaan hidup untuk kekal di tempat yang penuh kenikmatan atau di tempat siksaan yang amat pedih.
Beriman kepada Hari Akhir meliputi beriman kepada semua yang akan terjadi setelah mati, yaitu: ujian kubur, kenikmatan dan siksaannya, serta apa yang akan terjadi setelah itu, seperti kebangkitan dan hisab, kemudian surga atau neraka.
6- Beriman kepada Takdir:
Takdir artinya: beriman bahwasanya Allah telah mentaqdirkan semua yang ada dan menciptakan seluruh makhluk sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu, dan menurut kebijaksanaan-Nya. Maka segala sesuatu telah diketahui oleh Allah, serta telah pula tertulis disisi-Nya, dan Dialah yang telah menghendaki dan menciptakannya.


Kedua
Rukun-rukun (Pilar-Pilar) Islam

Islam dibangun di atas lima rukun. Seseorang tidak akan menjadi muslim yang sebenarnya hingga dia mengimani dan melaksanakannya, yaitu:
Rukun pertama: Syahadat (bersaksi) bahwa, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya Muhammad itu adalah Rasulullah. Syahadat ini merupakan kunci Islam dan pondasi bangunannya.
Makna syahadat la ilaha illallah ialah: tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah saja, Dialah ilah yang hak, sedangkan ilah selainnya adalah batil. Dan ilah itu artinya: sesuatu yang disembah.
Dan makna syahadat: bahwasanya Muhammad itu adalah rasulullah ialah: membenarkan semua apa yang diberitakannya, dan menta’ati semua perintahnya serta menjauhi semua yang dilarang dan dicegahnya.
Rukun kedua: Shalat:
Yaitu lima shalat setiap hari, Allah syari’atkan sebagai hubungan antara seorang muslim dengan Tuhannya. Di dalamnya dia bermunajat dan berdo’a kepada-Nya, di samping agar menjadi pencegah bagi muslim dari perbuatan keji dan munkar.
Dan Allah telah menyiapkan bagi yang menunaikannya kebaikan dalam agama dan kemantapan iman serta ganjaran, baik cepat maupun lambat. Maka dengan demikian seorang hamba akan mendapatkan ketenangan jiwa dan kenyamanan raga yang akan membuatnya bahagia di dunia dan akhirat.
Rukun ketiga: Zakat
Yaitu: sedekah yang dibayar oleh orang yang memiliki harta sampai nisab (kadar tertentu) setiap tahun, kepada yang berhak menerimanya seperti orang-orang fakir dan lainnya, di antara yang berhak menerima zakat.
Dan zakat itu tidak diwajibkan atas orang fakir yang tidak memiliki nisab, tapi hanya diwajibkan atas orang-orang kaya untuk menyempurnakan agama dan islam mereka, meningkatkan kondisi dan akhlak mereka, menolak segala bala dari mereka dan harta mereka, mensucikan mereka dari dosa, di samping sebagai bantuan bagi orang-orang yang membutuhkan dan fakir di antara mereka, serta untuk memenuhi kebutuhan keseharian mereka, sementara zakat hanyalah merupakan bagian kecil sekali dari jumlah harta dan rizki yang diberikan Allah kepada mereka.

Rukun keempat: Puasa
Yaitu selama satu bulan saja setiap tahun, pada bulan Ramadhan yang mulia, yakni bulan kesembilan dari bulan-bulan Hijriah. Kaum muslimin secara keseluruhan serempak meninggalkan kebutuhan-kebutuhan pokok mereka; makan, minum dan jima’, di siang hari; mulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam.
Dan semua itu akan diganti oleh Allah bagi mereka -berkat karunia dan kemurahannya- dengan penyempurnaan agama dan iman mereka, serta peningkatan kesempurnaan diri, dan banyak lagi ganjaran dan kebaikan lainnya; baik, di dunia maupun di akhirat yang telah dijanjikan Allah bagi orang-orang yang berpuasa.
Rukun kelima: Haji
Yaitu menuju Masjidil haram untuk melakukan ibadah tertentu. Allah mewajibkannya atas orang yang mampu sekali seumur hidup. Pada waktu itu kaum muslimin dari segala penjuru berkumpul di tempat yang paling mulia di muka bumi ini, menyembah Tuhan Yang Satu, memakai pakaian yang sama, tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, antara si kaya dan si fakir dan antara yang berkulit putih dan berkulit hitam. Mereka semua melaksanakan bentuk-bentuk ibadah tertentu, yang terpenting di antaranya adalah: Wukuf di padang Arafah, thawaf di Ka’bah yang mulia, kiblatnya kaum muslimin, dan sa’i antara bukit Shafa dan Marwah.
Dan di dalam pelaksanan haji itu terdapat manfaat-manfaat yang tidak terhingga banyaknya, baik dari segi agama maupun dunia.


Ketiga
Selanjutnya, Islam juga telah mengatur kehidupan pemeluknya secara individu dan kelompok, dengan konsep yang menjamin kebahagiaan hidup mereka dunia dan akhirat. Islam membolehkan bahkan mendorong mereka untuk nikah, dan sebaliknya mengharamkan atau melarang perbuatan zina, sodomi dan segala bentuk prilaku kotor lainnya. Ia mewajibkan menjalin hubungan antar kerabat, mengasihi orang-orang fakir dan miskin serta menyantuni mereka, sebagaimana Islam juga mewajibkan dan mendorong untuk berakhlak mulia, serta mengharamkan dan melarang segala bentuk moral yang hina.
Islam membolehkan bagi mereka usaha yang baik melalui perdagangan, persewaan dan semacamnya, serta mengharamkan praktek riba, segala bentuk perdagangan yang terlarang dan semua yang mengandung unsur penipuan atau pengelabuan.
Sebagaimana Islam juga memperhatikan perbedaan manusia dalam konsisten terhadap ajarannya dan memelihara hak-hak orang lain, untuk itu ditetapkan sanksi-sanksi yang mencegah untuk terjadinya berbagai pelanggaran terhadap hak-hak Allah seperti: murtad, berzina, meminum khamar dan semacamnya, begitu juga ditetapkan sanksi-sanksi yang mencegah akan terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak sesama manusia, seperti membunuh, mencuri, menuduh orang lain berbuat zina, atau menganiaya dengan memukul atau menyakiti. Sanksi-sanksi tersebut sangat sesuai dengan bentuk kejahatannya tanpa berlebih-lebihan.
Sebagaimana Islam juga telah mengatur dan memberi batasan terhadap hubungan antara rakyat dan penguasa, dengan mewajibkan rakyat untuk ta’at selama bukan dalam maksiat kepada Allah, dan mengharamkan kepada mereka memberontak atau menentang, karena bisa menimbulkan kerusakan-kerusakan secara umum atau khusus.
Sebagai penutup, dapat kita katakan bahwa Islam telah merangkum ajaran yang membangun dan menciptakan hubungan yang benar dan amalan yang tepat antara hamba dan Tuhannya dan antara seseorang dengan masyarakatnya dalam segala urusan. Maka tak satupun kebaikan, baik itu dari segi akhlak maupun mu’amalat, melainkan Islam telah membimbing dan mendorong ummat untuk melaksanakannya, dan sebaliknya tak satupun keburukan dalam hal akhlak ataupun mu’amalat melainkan Islam telah mencegah dan melarang ummat untuk melakukannya. Ini semua membuktikan kesempurnaan dan keindahan agama ini, dalam seluruh sisi dan bagiannya.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Senin, 18 Oktober 2010

Perseteruan Indonesia-Malaysia

Hubungan antar negara yang terjadi pada Indonesia dan Malaysia merupakan dinamika yang terus berjalan semenjak dahulu. Kasus yang paling hangat adalah perseteruan Indonesia dengan “adiknya”, yakni Malaysia. Banyak penduduk kedua negara yang teracuni Nasionalisme saat ini saling berkoar-koar untuk saling berperang dan membunuh. Berbagai letupan-letupan peristiwa, baik yang kecil, sedang ataupun besar menjadi isu sensitive yang seringkali memicu permusuhan antar penganut ideologi Nasionalisme di kedua negara.
Sebenarnya jika masyarakat kedua negara mau berpikir jernih tidak akan terjadi letupan-letupan semacam ini. Bahkan dalam konstelasi kepulauan Nusantara ini tidak akan terjadi dualisme negara Indonesia Malaysia. Jika mau berpikir dengan jujur, Indonesia dan Malaysia adalah entitas yang kembar. Kedua pihak dapat saling mengisi. Jika tidak ada ideologi Nasionalisme, para pencari kerja dan nafkah dapat dengan mudah berlalu lalang tanpa halangan batas administratif. 
Entah mengapa kebodohan lebih condong untuk saling membatasi. Lagi-lagi karena Nasionalisme yang ditanam kolonialis di zaman dahulu.


NASIONALISME KAUM MUDA INDONESIA

Ketua IKPNI Aisyah Hamid Baidlowi mengatakan bahwa semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan anak muda mulai menurun. Budaya Barat dianggap lebih modern dan melupakan budaya bangsa sendiri. Kemerosotan nilai luhur bangsa terjadi hampir pada semua generasi muda, baik di kota maupun di desa.” Demikian kutipan dari artikel berjudul Semangat Pahlawan untuk Memajukan Bangsa yang dimuat pada harian Kompas tanggal 12 februari 2007.
            Isi dari kutipan di atas boleh dibilang benar adanya walaupun dilihat dari sisi yang lain sebenarnya yang sedang terjadi bukanlah penurunan semangat nasionalisme dan patriotisme, tetapi penurunan jumlah kaum muda yang peka terhadap kesadaran nasionalisme dan patriotisme. Secara tragis, kaum muda yang memiliki kepekaan terhadap kesadaran nasionalisme dan patriotisme telah menjadi kaum termarjinalkan dan minoritas di Republik ini. Ketika komunitas kaum muda ini berkumpul mereka sebenarnya memendam luapan nasionalisme dan patriotisme yang begitu membara. Tetapi ketika mereka kembali ke realita kehidupan sehari-harinya, mereka secara sistematis menjadi kaum yang boleh dibilang aneh.
            Bagaimana tidak aneh, ketika kaum muda kebanyakan mempeributkan soal selebritis yang sedang terkena kasus perceraian ataupun tentang konser grup musik idola atau tentang gaya hidup yang sedang trend, maka kedatangan kaum muda yang membawa topik nasionalisme ataupun isu-isu krusial publik selalu saja dikatakan gak gaul, sok pintar, dan topiknya dikatakan terlalu berat untuk dipikirkan. Ketika kaum muda ini berusaha untuk memupuk semangat nasionalismenya agar tidak luntur, berbagai media yang ada disekitarnya justru memberondong dengan info-info hiburan dan sinetron-sinetron yang bahkan tidak ada urgensitasnya terhadap kemaslahatan publik. Belum lagi desakan ekonomi keluarga yang menuntut kaum muda untuk memperbaiki derajat hidup keluarganya yang merana. Bagaimana mau memikirkan tentang nasionalisme, sedang isi perut untuk hari esok saja masih tak tentu wujudnya. Yang tak kalah tragisnya, kaum muda yang berasal dari kalangan berada juga sudah terlalu sibuk memenuhi tuntutan orang tuanya untuk membantu memikirkan tentang masa depan usaha keluarganya, sehingga tak ada lagi waktu untuk memikirkan tentang bualan-bualan nasionalisme dan patriotisme.
            Ketika kaum tua, kalangan pendidik, dan pemerintah memprihatinkan tentang kesadaran nasionalisme dan patriotisme kaum muda, maka kaum muda kebingungan karena mereka kehilangan figur nasionalis. Tidak ada contoh nyata yang bisa digugu dan ditiru untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme dan patriotisme itu. Apa yang bisa ditiru ketika kekayaan tambang dan sumber minyak Indonesia yang begitu berlimpah ruah justru diserahkan kepada pihak asing untuk pengelolaannya dengan alasan bangsa kita belum memiliki teknologi yang memadai untuk mengelolanya? Bagaimana mungkin kesadaran nasionalisme dan patriotisme itu bisa terbentuk ketika pejabat negara yang idealnya adalah pelayan dan penata layanan masyarakat justru sibuk dengan upaya untuk meningkatkan citra diri dan memperkaya dirinya sendiri? Bagaimana bisa berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa ketika nilai-nilai chauvinisme justru yang dikedepankan untuk menyingkirkan suatu komunitas kehidupan masyarakat lainnya? Bagaimana bisa menghargai jasa para pahlawan ketika pelajaran Bahasa Indonesia, Sejarah, Pancasila dan Kewarganegaraan di institusi pendidikan hanya dinilai sebagai ilmu sampingan yang nilainya tak lebih berharga dari pada nilai matematika, fisika, kimia, ekonomi, dan akuntansi? Bagaimana model pahlawan nyata pada kehidupan dewasa ini yang bisa ditiru ketika para pemimpin bangsa dan negara ini hanya sibuk mengejar cita-citanya sendiri melalui perjuangan yang culas dan tidak jelas?
            Mengutip pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla dari artikel yang sama, bahwa mereka yang dianugerahi gelar pahlawan oleh negara merupakan orang yang cerdas, inovatif, dan memiliki terobosan dalam mewujudkan cita-citanya, maka untuk menumbuhkan pahlawan-pahlawan muda diperlukan suatu penanaman jiwa intelektual. Sudah waktunya untuk memagari bukan hanya kaum muda tetapi segenap elemen bangsa ini dengan propaganda intelektualisme. Memberdayakan fungsi media sebagai pendidik masyarakat dan bukannya sekedar sebagai penghibur masyarakat dengan hiburan-hiburan picisan dan sarana komersialisme yang hanya membuat masyarakat semakin sesak dililit utang dan terbius dalam candu konsumersialisme. Revitalisasi pelajaran-pelajaran yang mendasar sehingga nilainya tidak dianggap lebih rendah dari pada pelajaran ilmu pasti dan sosial, sekaligus juga perbaikan terhadap tata cara penyampaian pelajaran-pelajaran tersebut sehingga tidak terkesan membosankan. Bukankah penggunaan bahasa yang baik dan benar, pemahaman tentang asas-asas dan landasan negara, serta pengenalan tentang sejarah merupakan cerminan suatu bangsa yang nasionalis? Regenerasi nasional untuk memberikan tanggung jawab dan kepercayaan kepada anak-anak terbaik bangsa untuk mengelola kekayaan alam bangsa dan negara ini. Serta yang terpenting adalah komitmen menghidupi kesadaran nasionalisme dan patriotisme yang konsisten dari para pemimpin bangsa dan negara ini, kaum tua, dan tokoh-tokoh publik sehingga kaum muda mempunyai model jelas yang bisa ditiru.

"You shall know the truth, and the truth shall make you free"

Kebhinekaan di Tengah Frustrasi Sosial

Makin tidak siapkah kita untuk menerima perbedaan? Pertanyaan itu kita sampaikan ketika berbagai insiden yang dilatari oleh konflik etnis, agama, dan kelompok meletup di sejumlah tempat di Tanah Air. Apa pun alasannya! Berturut-turut, yang aktual: peristiwa penganiayaan jemaat HKBP, kerusuhan etnis di Tarakan, Kalimantan Timur, tawur antarkelompok di Jakarta, pembakaran rumah pengikut keyakinan tertentu, dan sebagainya. Berdekatannya peristiwa tersebut dengan peringatan Hari Pancasila Sakti kiranya menjadi momentum strategis bagi kita untuk merenungkannya.

Tentu masih banyak peristiwa lain yang menjadi catatan kelam perjalanan interaksi bangsa ini. Bangsa yang selama ini diakui dan bangga akan toleransi, kerukunan, kesantunan, dan keramahannya. Bangsa yang dipersatukan oleh semboyan indah Bhineka Tunggal Ika ñ berbeda-beda tetapi satu ñ dalam filosofi hidup ber-Pancasilanya. Justru ketika demokrasi menjadi pilihan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, haruskah kesatuan dan kebhinekaan itu dicerai-beraikan oleh bias dari kebebasan mengekspresikan pendapat dan aspirasi dengan kekerasan?

Perbedaan, dari semboyan berbhineka, merupakan keniscayaan yang sudah sedari awal disadari sebagai realitas sejarah terbentuknya bangsa ini. Para founding fathers menyatukannya lewat falsafah hidup dan kemanggungalan yang cerdas. Ada Sumpah Pemuda, penginternalisasian way of life Pancasila, dan ikhtiar silaturahmi kebangsaan secara terus menerus untuk menegaskan keberadaan Indonesia dengan segala kekayaan unikumnya. Dan, keindahan hidup dalam perbedaan itu dirasakan selama puluhan tahun, bahkan dikagumi oleh bangsa-bangsa lain.

Adakah sesuatu yang salah, melihat perkembangan pluralitas yang belakangan seperti bara dalam sekam? Kita boleh saja menangkapnya sebagai sekadar percik dalam sebuah dinamika besar berbangsa. Namun kita juga tak boleh menepikannya sebagai sekadar noktah kecil interaksi. Persoalan sensitivitas hidup dalam keragaman itu tentu punya akar yang bisa saja merupakan pemicu. Apakah kegetiran ekonomi, frustrasi sosial, ungkapan kegalauan politik, lemahnya penegakan hokum yang menyebabkan tidak terpancarnya rasa keadilan, atau keterkaitan keseluruhan faktor-faktor tersebut?

Kita boleh saja menerima analisis bahwa keterkungkungan panjang dalam episode demokrasi semu selama masa Orde Baru telah menciptakan kondisi semacam ”bendungan ambrol”. Ada euforia berekspresi yang bergerak liar. Namun teori berpola sekadar ”menyalahkan” semacam itu tentu tidak bijak dan reflektif. Jadi kita harus berani mengakui dan menginventarisasinya bahwa ada bibit-bibit persoalan pluralisme yang berkembang sekarang: apakah merupakan pendaman persoalan lama, sedang berkembang, atau merupakan potensi tidak sehat pada masa depan.

Apa pun persoalannya, ini merupakan tanggung jawab pemerintah di berbagai level. Menjaga dan memelihara pluralisme, selain yang ideal sebagai internalisasi sikap berbangsa, juga harus dikelola oleh semua stake holder bangsa ini. Secara terus menerus, generasi ke generasi, kehidupan harus terkondisikan sebagai ”sekolah” dan ”rumah” untuk membangun kesiapan menerima perbedaan. Pendekatan nyata penyejahteraan rakyat untuk mengurai akar kefrustrasian sosial, tentu merupakan syarat mendasar agar kegelisahan jiwa itu tidak menjadi justifikasi pemicu.

Tantangan Lulusan Sarjana di Era Informasi

Ketika para sarjana memadati berbagai arena bursa kerja untuk menawarkan ilmu dan ijazah mereka, iklan-iklan penerimaan mahasiswa baru juga nyaris memenuhi halaman-halaman surat kabar. Dua fenomena tersebut sangatlah ironis. Promosi Perguruan Tinggi untuk menjaring calon mahasiswa sama gencarnya dengan peningkatan pengangguran lulusan pada dewasa ini. Di sisi lain sebuah pertanyaan terbesit di benak saya, kualifikasi apakah yang sebenarnya disyaratkan oleh para pencari tenaga kerja lulusan sarjana Perguruan Tinggi ini ?

Jawaban yang saya diperoleh para peneliti pada umumnya adalah campuran kualitas personal dan prestasi akademik. Namun, pencari tenaga kerja tidak pernah mengkonkretkan, misalnya saja, seberapa besar spesialisasi mereka mengharapkan suatu program studi di Perguruan Tinggi. Kualifikasi seperti memiliki kemampuan numerik, problem-solving dan komunikatif sering menjadi prediksi para pengelola Perguruan Tinggi daripada pernyataan eksplisit para pencari tenaga kerja. Hasil survei menunjukkan perubahan keinginan para pencari tenaga kerja tersebut adalah dalam hal kualifikasi lulusan Perguruan Tinggi yang mereka syaratkan.

Tidak setiap persyaratan kualifikasi yang dimuat di iklan lowongan kerja sama penting nilainya bagi para pencari tenaga kerja. Dalam praktiknya, kualifikasi yang dinyatakan sebagai "paling dicari" oleh para pencari tenaga kerja juga tidak selalu menjadi kualifikasi yang "paling menentukan" diterima atau tidaknya seorang lulusan sarjana dalam suatu pekerjaan.

Yang menarik, tiga kualifikasi kategori kompetensi personal, yaitu kejujuran, tanggung jawab, dan inisiatif, menjadi kualifikasi yang paling penting, paling dicari, dan paling menentukan dalam proses rekrutmen. Kemampuan interpersonal, seperti mampu bekerja sama dan fleksibel, dipandang paling dicari dan paling menentukan. Namun, meskipun sering dicantumkan di dalam iklan lowongan kerja, indeks prestasi kumulatif (IPK) sebagai salah satu indikator keunggulan akademik tidak termasuk yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan.

Di sisi lain, reputasi institusi Pendidikan Tinggi yang antara lain diukur dengan status akreditasi program studi sama sekali tidak termasuk dalam daftar kualifikasi yang paling penting, paling dicari, ataupun paling menentukan proses rekrutmen lulusan sarjana oleh para pencari tenaga kerja.

Ada kecenderungan para pencari tenaga kerja "mengabaikan" bidang studi lulusan sarjana. Dalam sebuah wawancara misalnya, seorang kepala HRD sebuah perusahaan di salah satu kota menegaskan, kesesuaian kualitas personal dengan sifat-sifat suatu bidang pekerjaan lebih menentukan diterima atau tidaknya seorang lulusan Perguruan Tinggi. Misalnya, posisi sebagai kasir bank menuntut kecepatan, kecekatan, dan ketepatan. Maka, lulusan sarjana dengan kualitas ini punya peluang besar untuk diterima meskipun latar belakang bidang pendidikannya tidak sesuai. Kepala HRD itu mengatakan, "Saya pernah menerima Sarjana Ekonomi dari kota X sebagai editor di perusahaan kami dan menolak Sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia dari Kota X yang IPK-nya sangat bagus."

Kualifikasi-kualifikasi yang disyaratkan dunia kerja tersebut penting diperhatikan oleh pengelola Perguruan Tinggi untuk mengatasi ketidaknyambung-nya antara Perguruan Tinggi dengan dunia kerja dan pengangguran lulusan. Jika pembenahan sistem seleksi mahasiswa baru dimaksudkan untuk menjaring mahasiswa sesuai kompetensi dasarnya, perhatian pada kualifikasi yang dituntut pasar kerja dimaksudkan sebagai patokan proses pengolahan kompetensi dasar tersebut. Untuk itu semua, kerja sama Perguruan Tinggi dan dunia kerja adalah perlu.